GEJALA FRAUD DAN PERAN AUDITOR
INTERNAL DALAM PENDETEKSIAN
FRAUD DI LINGKUNGAN PERGURUAN
TINGGI
(STUDI KUALITATIF)
Judul :
GEJALA FRAUD DAN PERAN AUDITOR INTERNAL DALAM PENDETEKSIAN
FRAUD DI LINGKUNGAN
PERGURUAN TINGGI (STUDI KUALITATIF)
Penulis :
Rozmita Dewi YR dan R. Nelly Nur Apandi
Universitas : Prodi
Pendidikan Manajemen Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia
Prodi Akuntansi
Universitas Pendidikan Indonesia
Abstrak :
The
purpose of this study is to analyze the symptom of fraud and the role of
internal auditor to detect fraud. Informan are auditors internal and faculty
members. The sampling technique that is used in this paper is purposive
sampling. The primary data is used in this research.Qualitative method is used
by the researchers. The results showed that potential symptom occurs in university
are due to lack of internal control and accounting anomaly. The weakness of
internal control occurs because of inadequate accounting system and lack of
internal control from management while the accounting anomaly occurs because
worse of budgeting and delay of funding. On the other hand, review from top
management is more important than role of internal auditor. Eventhough auditors
internal have done their assignment to ensure the system run well, they can not
do anything without support from the top management. Auditor internal must
asses the risk of fraud regulary and Rector must build culture of
anticorruption in university environment to prevent fraud.
Keywords
: Fraud, Symptom and Detection Fraud
Latar
Belakang :
Perguruan
Tinggi merupakan entitas ekonomi yang mengelola dana yang bersumber dari perorangan,
masyarakat dan atau pemerintah oleh karenanya Perguruan Tinggi memiliki
kewajiban menyampaikan laporan keuangan secara berkala atas pengelolaan sumber
dana tersebut kepada para stakeholder. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas
dari stakeholder mendorong pihak manajemen untuk menghasilkan laporan
berkualitas yang terbebas dari unsur fraud. Semakin tingginya biaya pendidikan
di tingkat Perguruan tinggi menyebabkan biaya yang dikelola Perguruan Tinggi
menjadi tidak sedikit. Pengawasan yang lebih ketat perlu dilakukan dalam upaya
mencegah terjadinya perilaku penyimpangan melalui peningkatan sistem
pengendalian intern (internal control system). 2 Peraturan Pemerintah (PP ) No
19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), dalam pasal 4 peraturan
tersebut dijelaskan bahwa SNP bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional.
Keberadaan lembaga penjamin mutu tersebut adalah suatu keharusan sebagai upaya
setiap perguruan tinggi memberikan jaminan mutu proses dan hasil pendidikan
kepada stakeholders baik internal maupun eksternal perguruan tinggi. Beberapa
Perguruan Tinggi selain memiliki bagian Satuan Penjamin Mutu, Perguruan Tinggi
juga memiliki bagian Satuan Pengendalian Internal atau Auditor Internal yang
memiliki tugas untuk melakukan audit dalam bidang manajemen keuangan, akademik,
dan sumber daya.Profesionalisme auditor internal dilingkungan Perguruan Tinggi
belum mencapai tingkat yang memadai, hal ini disebabkan karena tumpang
tindihnya jabatan fungsional dan struktural. Rendahnya pengendalian internal
juga terjadi di Perusahan-Perusahaan publik di Indonesia,berdasarkan hasil
studi Bapepam tahun 2006, fungsi audit internal di Indonesia masih tergolong
dalam kategori yang belum memadai, hasil studi ini masih relevan dan sejalan
dengan pernyataan Anwar Nasution dalam sambutannya sebagai Ketua Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) pada penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1
tahun anggaran 2009 kepada DPR, Selasa 15 September 2009 menyatakan bahwa
fungsi audit internal di Indonesia masih belum efektif. Belum efektifnya
pengendalian internal di Indonesia, terutama di lingkungan Perguruan tinggi terbukti
dengan munculnya dugaan–dugaan kasus korupsi. Selama tahun 2012 setidaknya
telah ada 5(Lima) Perguruan Tinggi yang diduga terlibat tindakan fraud. Walaupun
demikian, hal tersebut masih berupa dugaan sehingga prinsip asas praduga tak
bersalah harus tetap ditegakkan. Tindakan fraud yang terjadi di lingkungan
Perguruan tinggi dapat diantisipasi lebih dini oleh pimpinan Perguruan Tinggi dengan
cara mengidentifikasi jenis fraud yang dilakukan sehingga dapat diketahui
gejala yang mungkin terjadi atas tindakan tersebut. Association of Certified
Fraud Examinations (ACFE), salah satu asosiasi di USA yang memfokuskan
kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan penyimpangan. Bentuk
penyimpangan dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) yaitu: penyimpangan pelaporan
keuangan (fraudulent financial reporting), asset misappropriation
(penyalahgunaan aset) dan corruption (Singelton, 2010: 73). Pimpinan 3 Perguruan
Tinggi melalui Internal Audit atau Satuan Pengendalian Internal harus mampu
untuk menangkap redflag dari ketiga bentuk kecurangan tersebut oleh karenanya
diperlukan suatu upaya untuk dapat mendeteksi, mencegah maupun menginvestigasi
terjadinya fraud. Penelitian yang dilakukan Lisa et al (1997) menyebutkan bahwa
Internal Audit berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan, pendeteksian dan
penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu organisasi. Albergh (2010: 86)
menyatakan bahwa “Not Everyone Is Honest”, seandainya semua orang jujur maka
Perusahaan tidak perlu waspada dengan tindakan fraud. Akan tetapi banyak orang
mengaku telah melakukan tindakan fraud ketika lingkungan tempat mereka bekerja
memiliki integritas yang rendah, kontrol yang rendah dan tekanan yang tinggi.
Ketiga hal ini akan memicu orang berprilaku tidak jujur. Tindakan fraud dapat
dicegah dengan cara menciptakan budaya kejujuran, sikap keterbukaan dan meminimalisasi
kesempatan untuk melakukan tindakan fraud. Oleh karena itu dalam lingkungan Perguruan
Tinggi hendaknya perlu diidentifikasi symptom dari tindakan fraud, penilaian
secara berkala atas symptom tersebut serta upaya untuk mengeliminasi tindakan
fraud. Penelitian terkait dengan auditor internal telah banyak dilakukan pada
Perusahaan Publik atau Sektor Pemerintahan akan tetapi penelitian yang
dilakukan di Perguruan Tinggi masih relatif jarang, dimana karakter yang
berbeda dari organisasi tersebut memungkinkan adanya symptom yang khas yang
harus dikenali oleh auditor. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini
bertujuan untuk mengungkapkan symptom fraud yang berpotensi terjadi di lingkungan
Perguruan Tinggi serta peran auditor internal dalam mendeteksi terjadinya
fraud.
Variabel
Penelitian :
Variabel
yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gejala Fraud (X1), Peran auditor
internal (X2) dan Fraud di lingkungan perguruan tinggi (y).
Metode
Penelitian :
Pada
penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah Symptom of Fraud dan Peran
Auditor Internal dalam mendeteksi fraud. Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan
kualitatif. Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data primer.
Penentuan sumber data dalam penelitian kualitatif menggunakan nonprobability
sampling. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Setelah
sumber data ditentukan, selanjutnya diperlukan teknik pengumpulan data agar mendapatkan
data sesuai dengan tujuan dari penelitian dan memenuhi standar data yang
diharapkan. Individu-individu yang akan menjadi informan dalam penelitian ini
terdiri atas auditor internal pada lingkungan Perguruan Tinggi, dosen
dilingkungan perguruan tinggi yang pernah menjabat sebagai pengelola keuangan
dan ahli internal audit.
Tabel
1. Responden Penelitian
Teknik
pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara,observasi dan dokumentasi. Dalam
penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah Analisis Data Lapangan
Model Miles and Huberman. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2010:246) mengemukakan
bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan
berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh.
Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data displays, dan conclusion
drawing/ verification. Dalam teknik pemeriksaan keabsahan data, peneliti
menggunakan teknik triangulasi dengan teori. Dimana dalam pengertiannya
triangulasi adalah teknik pemeriksaan 9 keabsahan data yang memanfaatkan
sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian
(Moleong, 2004:330)
Hasil
Penelitian :
Symptom
of Fraud
Jenis
fraud yang telah dikelompokan oleh para ahli menjadi tiga macam yaitu
fraudulent financial statement, misappropriation asset dan korupsi, ketiganya
memiliki karakteristik berbeda mengenai motif dan pelaku fraud tersebut atau
yang dikenal dengan istilah Fraudster. Bagi organisasi yang tidak berorientasi
pada laba maka misappropriation asset berpotensi lebih sering terjadi
dibandingkan dengan jenis fraud lainnya. Hal ini sejalan dengan yang
diungkapkan Informan1 dalam wawancara :
“Jenis
fraud yang berpotensi mungkin terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi adalah
terkait dengan pengelolaan asset karena jumlah asset yang ada dilingkungan
universitas itu cukup banyak sedangkan pengendalian internal atas asset
tersebut relative masih rendah sehingga hal ini menjadi peluang bagi pihak yang
ada dalam lingkungan organisasi maupun yang ada diluar organisasi untuk
memanfaatkan kelemahan tersebut. Terutama dalam pengadaan barang dan jasa atau
proses markup barang dan jasa. Untuk creative accounting jarang terjadi”.
Hal
senada seperti yang diungkapkan oleh Informan 2 bahwa missaprropriation asset
berpotensi terjadi lebih sering dibandingkan dengan fraudulent financial report
pada Institusi Perguruan Tinggi, seperti
yang
dikutip dalam wawancara berikut ini :
“Pada
umumnya pemisahan fungsi dan bagian yang khusus menangani asset dilingkungan Perguruan
Tinggi telah dimiliki akan tetapi bahaya penyalahgunaan asset masih mengancam institusi
– institusi Perguruan Tinggi. Seperti masalah inventarisasi asset yang dimiliki
Perguruan Tinggi masih terdapat perbedaan antara pencatatan dengan bukti fisik
atas asset tersebut, hal ini terjadi karena sistem akuntansi yang ada pada
tahun – tahun sebelumnya belum mampu menghasilkan informasi yang berkualitas,
akhirnya berpengaruh pada penyajian neraca pada tahun-tahun berikutnya. Akan
tetapi saya melihat kecenderungan upaya akuntabilitas dan transparansi publik
mendorong pencatatan asset serta pengendalian intern atas asset di lingkungan perguruan
tinggi menjadi lebih baik”.
Potensi
terjadinya penyalagunaan asset juga sangat mungkin terjadi pada kas. Jumlah dana
yang dikelola Institusi Perguruan tinggi sangat besar. Dimana unit satuan terkecil
dalam entitas pengguna dana adalah fakultas/jurusan/program studi. Kelemahan
pengendalian intern atas kas juga menyebabkan peluang bagi fraudster untuk
melakukan tindakan fraud. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh 10 Informan
2, 3 dan 4, dimana mereka juga beberapa kali pernah mendapatkan penugasan audit
investigasi atas kasus pengelapan kas. Skema larceny atau pencurian uang yang
paling berpotensi terjadi apabila pengendalian internal kas sangat rendah.
Selain itu, skema fraudulent disbursment juga dapat berpotensi terjadi dengan
sistem perencanaan anggaran yang tidak matang. Berdasarkan uraian diatas bahwa
potensi fraud yang paling mungkin terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi terkait
penyalahgunaan asset, walaupun tidak menutup kemungkinan kedua jenis fraud lainnya
terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi. Apalagi ditambah dengan pandangan
sebagian masyarakat yang meragukan bersihnya institusi pemerintah dari tindakan
korupsi .Hal ini sejalan dengan pendapat Informan 4 :
“Potensi
terbesar dalam tindakan korupsi adalah pada pengadaan barang dan jasa yang
tidak transparan dan akuntabel. Apabila hal tersebut terjadi di lingkungan
perguruan tinggi maka kekecewaan masyarakat akan semakin meningkat karena institusi
pendidikan yang diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai moral pada mahasiswa
ternyata dapat menjadi pelaku tindakan yang tidak sesuai nilai moral tersebut”.
Hasil
penelitian ini mengenai potensi penyalahgunaan asset sejalan dengan penelitian
yang dilakukan The Association Certified Fraud Examiners (ACFE ) 2010 berdasarkan
data dari 1843 kasus fraud yang terjadi di seluruh dunia antara Januari 2008
sampai dengan Desember 2009. Semua informasi didapat dari para Certified Fraud
Examiners (CFEs) yang menginvestigasi kasus-kasus ini di 106 negara. Estimasi
dari para CFEs, organisasi kehilangan 5% kekayaan pada laporan keuangan akhir
tahun disebabkan karena fraud. Asset misappropriation merupakan bentuk kasus
fraud terbanyak yaitu 90% kasus meskipun akibat kerugian adalah yang paling sedikit
yaitu sebesar $135.000. Setelah diuraikan mengenai skema fraud yang berpotensi
terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi maka perlu diketahui secara dini
gejala-gejala yang terjadi atas tindakan fraud tersebut. Berikut ini adalah tabel
perbandingan hasil wawancara dengan teori mengenai gejala fraud.
Analisi
Jurnal :
Berdasarkan
uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.
Gejala fraud yang berpotensi timbul di
lingkungan perguruan tinggi adalah lack of internal control yang disebabkan
oleh belum adanya pemisahan fungsi pada level terkecil pengguna anggaran, kurangnya
pengendalian internal yang dilakukan oleh pimpinan unit terkecil dekan terhadap
pelaporan pertanggungjawaban dana. Keterlibatan dosen sebagai auditor internal
dapat berpotensi menurunkan independensi.Gejala lainnya adalah accounting anomaly
yang ditandai dengan 16 perencanaan anggaran yang tidak matang, pencairan dana
yang terlambat dapat berpotensi terjadinya transaksi fiktif. Dosen yang
dijadikan pemegang kas menghadapi konflik peran serta pemegang kas yang tidak
memiliki latarbelakang keuangan menyebabkan keterlambatan dalam pencatatan
pelaporan keuangan.
2.
Auditor internal berperan dalam mendeteksi tindakan fraud akan tetapi peran
manajemen puncak dalam melakukan review atas pengendalian internal memberikan
peran yang lebih penting dalam upaya pendeteksian tindakan fraud sesuai dengan
konsep ―tone at the top‖. Tugas Auditor internal untuk melakukan penilaian
resiko tindakan fraud belum sepenuhnya dilakukan oleh auditor dilingkungan
Perguruan Tinggi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar