Kamis, 11 Desember 2014

Analisi Jurnal Tentang Fraud

GEJALA FRAUD DAN PERAN AUDITOR INTERNAL DALAM PENDETEKSIAN
FRAUD DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI
(STUDI KUALITATIF)
Judul               :  GEJALA FRAUD DAN PERAN AUDITOR INTERNAL DALAM PENDETEKSIAN
FRAUD DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI (STUDI KUALITATIF)
Penulis             :  Rozmita Dewi YR dan R. Nelly Nur Apandi
Universitas      :  Prodi Pendidikan Manajemen Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia
Prodi Akuntansi Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak :
The purpose of this study is to analyze the symptom of fraud and the role of internal auditor to detect fraud. Informan are auditors internal and faculty members. The sampling technique that is used in this paper is purposive sampling. The primary data is used in this research.Qualitative method is used by the researchers. The results showed that potential symptom occurs in university are due to lack of internal control and accounting anomaly. The weakness of internal control occurs because of inadequate accounting system and lack of internal control from management while the accounting anomaly occurs because worse of budgeting and delay of funding. On the other hand, review from top management is more important than role of internal auditor. Eventhough auditors internal have done their assignment to ensure the system run well, they can not do anything without support from the top management. Auditor internal must asses the risk of fraud regulary and Rector must build culture of anticorruption in university environment to prevent fraud.
Keywords : Fraud, Symptom and Detection Fraud
Latar Belakang :
Perguruan Tinggi merupakan entitas ekonomi yang mengelola dana yang bersumber dari perorangan, masyarakat dan atau pemerintah oleh karenanya Perguruan Tinggi memiliki kewajiban menyampaikan laporan keuangan secara berkala atas pengelolaan sumber dana tersebut kepada para stakeholder. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas dari stakeholder mendorong pihak manajemen untuk menghasilkan laporan berkualitas yang terbebas dari unsur fraud. Semakin tingginya biaya pendidikan di tingkat Perguruan tinggi menyebabkan biaya yang dikelola Perguruan Tinggi menjadi tidak sedikit. Pengawasan yang lebih ketat perlu dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya perilaku penyimpangan melalui peningkatan sistem pengendalian intern (internal control system). 2 Peraturan Pemerintah (PP ) No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), dalam pasal 4 peraturan tersebut dijelaskan bahwa SNP bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Keberadaan lembaga penjamin mutu tersebut adalah suatu keharusan sebagai upaya setiap perguruan tinggi memberikan jaminan mutu proses dan hasil pendidikan kepada stakeholders baik internal maupun eksternal perguruan tinggi. Beberapa Perguruan Tinggi selain memiliki bagian Satuan Penjamin Mutu, Perguruan Tinggi juga memiliki bagian Satuan Pengendalian Internal atau Auditor Internal yang memiliki tugas untuk melakukan audit dalam bidang manajemen keuangan, akademik, dan sumber daya.Profesionalisme auditor internal dilingkungan Perguruan Tinggi belum mencapai tingkat yang memadai, hal ini disebabkan karena tumpang tindihnya jabatan fungsional dan struktural. Rendahnya pengendalian internal juga terjadi di Perusahan-Perusahaan publik di Indonesia,berdasarkan hasil studi Bapepam tahun 2006, fungsi audit internal di Indonesia masih tergolong dalam kategori yang belum memadai, hasil studi ini masih relevan dan sejalan dengan pernyataan Anwar Nasution dalam sambutannya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 tahun anggaran 2009 kepada DPR, Selasa 15 September 2009 menyatakan bahwa fungsi audit internal di Indonesia masih belum efektif. Belum efektifnya pengendalian internal di Indonesia, terutama di lingkungan Perguruan tinggi terbukti dengan munculnya dugaan–dugaan kasus korupsi. Selama tahun 2012 setidaknya telah ada 5(Lima) Perguruan Tinggi yang diduga terlibat tindakan fraud. Walaupun demikian, hal tersebut masih berupa dugaan sehingga prinsip asas praduga tak bersalah harus tetap ditegakkan. Tindakan fraud yang terjadi di lingkungan Perguruan tinggi dapat diantisipasi lebih dini oleh pimpinan Perguruan Tinggi dengan cara mengidentifikasi jenis fraud yang dilakukan sehingga dapat diketahui gejala yang mungkin terjadi atas tindakan tersebut. Association of Certified Fraud Examinations (ACFE), salah satu asosiasi di USA yang memfokuskan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan penyimpangan. Bentuk penyimpangan dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) yaitu: penyimpangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting), asset misappropriation (penyalahgunaan aset) dan corruption (Singelton, 2010: 73). Pimpinan 3 Perguruan Tinggi melalui Internal Audit atau Satuan Pengendalian Internal harus mampu untuk menangkap redflag dari ketiga bentuk kecurangan tersebut oleh karenanya diperlukan suatu upaya untuk dapat mendeteksi, mencegah maupun menginvestigasi terjadinya fraud. Penelitian yang dilakukan Lisa et al (1997) menyebutkan bahwa Internal Audit berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu organisasi. Albergh (2010: 86) menyatakan bahwa “Not Everyone Is Honest”, seandainya semua orang jujur maka Perusahaan tidak perlu waspada dengan tindakan fraud. Akan tetapi banyak orang mengaku telah melakukan tindakan fraud ketika lingkungan tempat mereka bekerja memiliki integritas yang rendah, kontrol yang rendah dan tekanan yang tinggi. Ketiga hal ini akan memicu orang berprilaku tidak jujur. Tindakan fraud dapat dicegah dengan cara menciptakan budaya kejujuran, sikap keterbukaan dan meminimalisasi kesempatan untuk melakukan tindakan fraud. Oleh karena itu dalam lingkungan Perguruan Tinggi hendaknya perlu diidentifikasi symptom dari tindakan fraud, penilaian secara berkala atas symptom tersebut serta upaya untuk mengeliminasi tindakan fraud. Penelitian terkait dengan auditor internal telah banyak dilakukan pada Perusahaan Publik atau Sektor Pemerintahan akan tetapi penelitian yang dilakukan di Perguruan Tinggi masih relatif jarang, dimana karakter yang berbeda dari organisasi tersebut memungkinkan adanya symptom yang khas yang harus dikenali oleh auditor. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan symptom fraud yang berpotensi terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi serta peran auditor internal dalam mendeteksi terjadinya fraud.
Variabel Penelitian :
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gejala Fraud (X1), Peran auditor internal (X2) dan Fraud di lingkungan perguruan tinggi (y).
Metode Penelitian :
Pada penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah Symptom of Fraud dan Peran Auditor Internal dalam mendeteksi fraud. Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif. Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data primer. Penentuan sumber data dalam penelitian kualitatif menggunakan nonprobability sampling. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Setelah sumber data ditentukan, selanjutnya diperlukan teknik pengumpulan data agar mendapatkan data sesuai dengan tujuan dari penelitian dan memenuhi standar data yang diharapkan. Individu-individu yang akan menjadi informan dalam penelitian ini terdiri atas auditor internal pada lingkungan Perguruan Tinggi, dosen dilingkungan perguruan tinggi yang pernah menjabat sebagai pengelola keuangan dan ahli internal audit.
Tabel 1. Responden Penelitian
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara,observasi dan dokumentasi. Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah Analisis Data Lapangan Model Miles and Huberman. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2010:246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data displays, dan conclusion drawing/ verification. Dalam teknik pemeriksaan keabsahan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi dengan teori. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan 9 keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2004:330)
Hasil Penelitian :
Symptom of Fraud
Jenis fraud yang telah dikelompokan oleh para ahli menjadi tiga macam yaitu fraudulent financial statement, misappropriation asset dan korupsi, ketiganya memiliki karakteristik berbeda mengenai motif dan pelaku fraud tersebut atau yang dikenal dengan istilah Fraudster. Bagi organisasi yang tidak berorientasi pada laba maka misappropriation asset berpotensi lebih sering terjadi dibandingkan dengan jenis fraud lainnya. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Informan1 dalam wawancara :
“Jenis fraud yang berpotensi mungkin terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi adalah terkait dengan pengelolaan asset karena jumlah asset yang ada dilingkungan universitas itu cukup banyak sedangkan pengendalian internal atas asset tersebut relative masih rendah sehingga hal ini menjadi peluang bagi pihak yang ada dalam lingkungan organisasi maupun yang ada diluar organisasi untuk memanfaatkan kelemahan tersebut. Terutama dalam pengadaan barang dan jasa atau proses markup barang dan jasa. Untuk creative accounting jarang terjadi”.
Hal senada seperti yang diungkapkan oleh Informan 2 bahwa missaprropriation asset berpotensi terjadi lebih sering dibandingkan dengan fraudulent financial report pada Institusi Perguruan Tinggi, seperti
yang dikutip dalam wawancara berikut ini :
“Pada umumnya pemisahan fungsi dan bagian yang khusus menangani asset dilingkungan Perguruan Tinggi telah dimiliki akan tetapi bahaya penyalahgunaan asset masih mengancam institusi – institusi Perguruan Tinggi. Seperti masalah inventarisasi asset yang dimiliki Perguruan Tinggi masih terdapat perbedaan antara pencatatan dengan bukti fisik atas asset tersebut, hal ini terjadi karena sistem akuntansi yang ada pada tahun – tahun sebelumnya belum mampu menghasilkan informasi yang berkualitas, akhirnya berpengaruh pada penyajian neraca pada tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi saya melihat kecenderungan upaya akuntabilitas dan transparansi publik mendorong pencatatan asset serta pengendalian intern atas asset di lingkungan perguruan tinggi menjadi lebih baik”.
Potensi terjadinya penyalagunaan asset juga sangat mungkin terjadi pada kas. Jumlah dana yang dikelola Institusi Perguruan tinggi sangat besar. Dimana unit satuan terkecil dalam entitas pengguna dana adalah fakultas/jurusan/program studi. Kelemahan pengendalian intern atas kas juga menyebabkan peluang bagi fraudster untuk melakukan tindakan fraud. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh 10 Informan 2, 3 dan 4, dimana mereka juga beberapa kali pernah mendapatkan penugasan audit investigasi atas kasus pengelapan kas. Skema larceny atau pencurian uang yang paling berpotensi terjadi apabila pengendalian internal kas sangat rendah. Selain itu, skema fraudulent disbursment juga dapat berpotensi terjadi dengan sistem perencanaan anggaran yang tidak matang. Berdasarkan uraian diatas bahwa potensi fraud yang paling mungkin terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi terkait penyalahgunaan asset, walaupun tidak menutup kemungkinan kedua jenis fraud lainnya terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi. Apalagi ditambah dengan pandangan sebagian masyarakat yang meragukan bersihnya institusi pemerintah dari tindakan korupsi .Hal ini sejalan dengan pendapat Informan 4 :
“Potensi terbesar dalam tindakan korupsi adalah pada pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan dan akuntabel. Apabila hal tersebut terjadi di lingkungan perguruan tinggi maka kekecewaan masyarakat akan semakin meningkat karena institusi pendidikan yang diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai moral pada mahasiswa ternyata dapat menjadi pelaku tindakan yang tidak sesuai nilai moral tersebut”.
Hasil penelitian ini mengenai potensi penyalahgunaan asset sejalan dengan penelitian yang dilakukan The Association Certified Fraud Examiners (ACFE ) 2010 berdasarkan data dari 1843 kasus fraud yang terjadi di seluruh dunia antara Januari 2008 sampai dengan Desember 2009. Semua informasi didapat dari para Certified Fraud Examiners (CFEs) yang menginvestigasi kasus-kasus ini di 106 negara. Estimasi dari para CFEs, organisasi kehilangan 5% kekayaan pada laporan keuangan akhir tahun disebabkan karena fraud. Asset misappropriation merupakan bentuk kasus fraud terbanyak yaitu 90% kasus meskipun akibat kerugian adalah yang paling sedikit yaitu sebesar $135.000. Setelah diuraikan mengenai skema fraud yang berpotensi terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi maka perlu diketahui secara dini gejala-gejala yang terjadi atas tindakan fraud tersebut. Berikut ini adalah tabel perbandingan hasil wawancara dengan teori mengenai gejala fraud.
Analisi Jurnal :
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.  Gejala fraud yang berpotensi timbul di lingkungan perguruan tinggi adalah lack of internal control yang disebabkan oleh belum adanya pemisahan fungsi pada level terkecil pengguna anggaran, kurangnya pengendalian internal yang dilakukan oleh pimpinan unit terkecil dekan terhadap pelaporan pertanggungjawaban dana. Keterlibatan dosen sebagai auditor internal dapat berpotensi menurunkan independensi.Gejala lainnya adalah accounting anomaly yang ditandai dengan 16 perencanaan anggaran yang tidak matang, pencairan dana yang terlambat dapat berpotensi terjadinya transaksi fiktif. Dosen yang dijadikan pemegang kas menghadapi konflik peran serta pemegang kas yang tidak memiliki latarbelakang keuangan menyebabkan keterlambatan dalam pencatatan pelaporan keuangan.

2. Auditor internal berperan dalam mendeteksi tindakan fraud akan tetapi peran manajemen puncak dalam melakukan review atas pengendalian internal memberikan peran yang lebih penting dalam upaya pendeteksian tindakan fraud sesuai dengan konsep ―tone at the top‖. Tugas Auditor internal untuk melakukan penilaian resiko tindakan fraud belum sepenuhnya dilakukan oleh auditor dilingkungan Perguruan Tinggi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar