Sabtu, 20 Desember 2014

OPINI JOB SEEKER VS JOB CREATOR



Job seeker adalah istilah atau label yang dikenakan oleh seseorang yang sedang mencari kerja. Seorang Job seeker biasanya memiliki rutinitas setiap harinya mencari-cari lowongan dan informasi peluang kerja. Sedangkan job creator adalah menciptakan lapangan pekerjaan, dengan kata lain juga disebut sebagai kewirausahaan.
Sebagian besar orang setelah lulus memilih mencari pekerjaan atau menjadi pencari kerja (Job Seeker) dibandingkan dengan membuat lapangan kerja (Job Creator). Kenyataan bahwa sebagian besar lulusan Perguruan Tinggi adalah lebih sebagai pencari kerja (job seeker) daripada pencipta lapangan pekerjaan (job creator) merupakan salah satu penyebab tingginya angka pengangguran berpendidikan tinggi. Hal ini dimungkinkan karena sistem pembelajaran yang diterapkan di perguruan tinggi saat ini lebih terfokus pada bagaimana menyiapkan para mahasiswa yang cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan, bukan sebagai lulusan yang siap bekerja dengan menciptakan pekerjaan. Selain itu secara umum aktivitas kewirausahaan (Entrepreneurial Activity) mahasiswa relatif masih rendah. Entrepreneurial Activity diterjemahkan sebagai individu aktif dalam memulai bisnis baru dan dinyatakan dalam persen total penduduk aktif bekerja. Semakin tinggi indek Entrepreneurial Activity, maka semakin tinggi level entrepreneurship suatu negara (Boulton dan Turner, 2005).
Fenomena yang muncul adalah banyaknya lulusan perguruan tinggi yang lebih memilih menjadi pegawai negeri/karyawan swasta (employee) ketimbang membuka lapangan kerja. Sikap mandiri dengan tidak menggantungkan harapan untuk bekerja kantoran, atau menjadi Pegawai/karyawan (employee), tampaknya belum akrab dalam benak sebagian besar para calon sarjana. Mereka berasumsi bahwa ketika lulus kuliah, kemudian mendapat pekerjaan kantoran, atau menjadi Pegawai/karyawan (employee), akan menjamin masa depan mereka kelak. Padahal kesempatan kerja pada organisasi pemerintahan hanya dibuka setiap tahun, bagi mereka yang berminat menjadi PNS dengan tujuan untuk mengisi lowongan mereka yang telah pensiun, meninggal dunia atau keluar dari pekerjaannya. Jumlah lowongan yang tersedia sangat sedikit jika dibandingkan dengan jumlah yang melamar. Hal ini mendorong adanya persaingan yang sangat ketat diantara para peserta tes. Semuanya berlomba menjadi yang terbaik agar direkrut. Bagi mereka yang tidak lulus tes akan menambah deretan jumlah angkatan kerja yang semakin bertambah dan bertambah.
Tetapi sekarang ini, kita perlu mindset para lulusan perguruan tinggi dari mereka yang berpikir sebagai pencari kerja menjadi seorang yang berpikir untuk menjadi pencipta lapangan kerja. Semangat kewirausahaan harus ditanamkan dalam diri generasi bangsa kita sejak dini. Karena menjadi seorang pengusaha pasti akan lebih baik dibanding kita bekerja pada orang lain walaupun untuk memulai suatu usaha membutuhkan setidaknya keberanian untuk mengexplorasi ide bisnis dan menjadikannya bernilai.
Akan tetapi ada beberapa alasan juga yang menyebabkan mereka menjadi job seeker yaitu karena ingin menjadi pegawai negeri atau swasta setelah lulus dari perguruan tinggi dengan maksud untuk mendapatkan  gaji untuk modal bisnis yang akan dijalankannya.
Pengembangan jiwa kewirausahaan bagi mahasiswa Perguruan Tinggi dimaksudkan untuk memberikan bekal kepada mahasiswa agar mahasiswa/alumni memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak yang mengutamakan inovasi, kreativitas dan kemandirian.
Tujuan pembelajaran kewirausahaan di perguruan tinggi adalah bagaimana mentransformasikan jiwa, sikap dan perilaku wirausaha dari kelompok business entrepreneur yang dapat menjadi bahan dasar guna merambah lingkungan entrepreneur lainnya, yakni academic, govenrment dan social entrepreneur.
Desain pembelajaran yang diberikan adalah pembelajaran yang berorientasi atau diarahkan untuk menghasilkan business entrepreneur terutama yang menjadi owner entrepreneur atau calon wirausaha mandiri yang mampu mendirikan, memiliki dan mengelola perusahaan serta dapat memasuki dunia bisnis dan dunia industri secara profesional. Karenanya pola dasar pembelajaran harus sistemik, yang di dalamnya memuat aspek-aspek teori, praktek dan implementasi. Di samping itu dalam pelaksanaan pembelajaran hendaknya disertai operasionalisasi pendidikan yang relatif utuh menyeluruh seperti pelatihan, bimbingan, pembinaan, konsultasi dan sebagainya.
Ada beberapa perbedaan yang dapat dilihat jikamenjadi pengusaha dan pegawai :
Pengusaha (Job Creator) :
1.       Membuka lapangan pekerjaan untuk orang lain, dengan kata lain kita membantu pemerintah mengurangi angka pengangguran di negara
2.       Independen dan mandiri dalam menjalankan usaha, karena pengusaha dituntut untuk lebih bertanggung jawab pada usaha yang dijalankannya agar bisa maju dan terus berkembang
3.       Lebih bebas dalam jam bekerja
4.       Lebih kreatif, karena seorang pengusaha harus kreatif dan selalu berinovasi agar produk yang dihasilkan tidak membuat konsumen bosan.

Pegawai ( Job Seeker) :
1.      Tugasnya terikat pada suatu perusahaan atau organisasi
2.      Tidak independen
3.      Waktunya lebih diatur dan tidak bebas
4.      Diberi tugas oleh atasan dan pegawai hanya menjalankan tugas dari atasan dengan kata lain pegawai hanya bawahan.

Dari penjelasan yang telah dituliskan diatas menurut saya, jika kita mempunyai kesempatan menjadi seorang Job Creator (pembuat lapangan kerja) itu akan lebih baik dibandingkan hanya menjadi Job Seeker (pencari kerja) karena akan lebih baik jika kita dapat membuka lapangan pekerjaan untuk banyak orang, selain itu juga dengan menjadi Job Creator maka kita akan mengurangi angka pengangguran di Indonesia. 
Sumber :

Nama : Dicka Aditya
NPM  : 22211056
Kelas  : 4EB05


Kamis, 11 Desember 2014

Analisi Jurnal Tentang Fraud

GEJALA FRAUD DAN PERAN AUDITOR INTERNAL DALAM PENDETEKSIAN
FRAUD DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI
(STUDI KUALITATIF)
Judul               :  GEJALA FRAUD DAN PERAN AUDITOR INTERNAL DALAM PENDETEKSIAN
FRAUD DI LINGKUNGAN PERGURUAN TINGGI (STUDI KUALITATIF)
Penulis             :  Rozmita Dewi YR dan R. Nelly Nur Apandi
Universitas      :  Prodi Pendidikan Manajemen Bisnis Universitas Pendidikan Indonesia
Prodi Akuntansi Universitas Pendidikan Indonesia

Abstrak :
The purpose of this study is to analyze the symptom of fraud and the role of internal auditor to detect fraud. Informan are auditors internal and faculty members. The sampling technique that is used in this paper is purposive sampling. The primary data is used in this research.Qualitative method is used by the researchers. The results showed that potential symptom occurs in university are due to lack of internal control and accounting anomaly. The weakness of internal control occurs because of inadequate accounting system and lack of internal control from management while the accounting anomaly occurs because worse of budgeting and delay of funding. On the other hand, review from top management is more important than role of internal auditor. Eventhough auditors internal have done their assignment to ensure the system run well, they can not do anything without support from the top management. Auditor internal must asses the risk of fraud regulary and Rector must build culture of anticorruption in university environment to prevent fraud.
Keywords : Fraud, Symptom and Detection Fraud
Latar Belakang :
Perguruan Tinggi merupakan entitas ekonomi yang mengelola dana yang bersumber dari perorangan, masyarakat dan atau pemerintah oleh karenanya Perguruan Tinggi memiliki kewajiban menyampaikan laporan keuangan secara berkala atas pengelolaan sumber dana tersebut kepada para stakeholder. Tuntutan transparansi dan akuntabilitas dari stakeholder mendorong pihak manajemen untuk menghasilkan laporan berkualitas yang terbebas dari unsur fraud. Semakin tingginya biaya pendidikan di tingkat Perguruan tinggi menyebabkan biaya yang dikelola Perguruan Tinggi menjadi tidak sedikit. Pengawasan yang lebih ketat perlu dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya perilaku penyimpangan melalui peningkatan sistem pengendalian intern (internal control system). 2 Peraturan Pemerintah (PP ) No 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP), dalam pasal 4 peraturan tersebut dijelaskan bahwa SNP bertujuan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Keberadaan lembaga penjamin mutu tersebut adalah suatu keharusan sebagai upaya setiap perguruan tinggi memberikan jaminan mutu proses dan hasil pendidikan kepada stakeholders baik internal maupun eksternal perguruan tinggi. Beberapa Perguruan Tinggi selain memiliki bagian Satuan Penjamin Mutu, Perguruan Tinggi juga memiliki bagian Satuan Pengendalian Internal atau Auditor Internal yang memiliki tugas untuk melakukan audit dalam bidang manajemen keuangan, akademik, dan sumber daya.Profesionalisme auditor internal dilingkungan Perguruan Tinggi belum mencapai tingkat yang memadai, hal ini disebabkan karena tumpang tindihnya jabatan fungsional dan struktural. Rendahnya pengendalian internal juga terjadi di Perusahan-Perusahaan publik di Indonesia,berdasarkan hasil studi Bapepam tahun 2006, fungsi audit internal di Indonesia masih tergolong dalam kategori yang belum memadai, hasil studi ini masih relevan dan sejalan dengan pernyataan Anwar Nasution dalam sambutannya sebagai Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada penyerahan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester 1 tahun anggaran 2009 kepada DPR, Selasa 15 September 2009 menyatakan bahwa fungsi audit internal di Indonesia masih belum efektif. Belum efektifnya pengendalian internal di Indonesia, terutama di lingkungan Perguruan tinggi terbukti dengan munculnya dugaan–dugaan kasus korupsi. Selama tahun 2012 setidaknya telah ada 5(Lima) Perguruan Tinggi yang diduga terlibat tindakan fraud. Walaupun demikian, hal tersebut masih berupa dugaan sehingga prinsip asas praduga tak bersalah harus tetap ditegakkan. Tindakan fraud yang terjadi di lingkungan Perguruan tinggi dapat diantisipasi lebih dini oleh pimpinan Perguruan Tinggi dengan cara mengidentifikasi jenis fraud yang dilakukan sehingga dapat diketahui gejala yang mungkin terjadi atas tindakan tersebut. Association of Certified Fraud Examinations (ACFE), salah satu asosiasi di USA yang memfokuskan kegiatannya dalam pencegahan dan pemberantasan penyimpangan. Bentuk penyimpangan dapat dikategorikan kedalam 3 (tiga) yaitu: penyimpangan pelaporan keuangan (fraudulent financial reporting), asset misappropriation (penyalahgunaan aset) dan corruption (Singelton, 2010: 73). Pimpinan 3 Perguruan Tinggi melalui Internal Audit atau Satuan Pengendalian Internal harus mampu untuk menangkap redflag dari ketiga bentuk kecurangan tersebut oleh karenanya diperlukan suatu upaya untuk dapat mendeteksi, mencegah maupun menginvestigasi terjadinya fraud. Penelitian yang dilakukan Lisa et al (1997) menyebutkan bahwa Internal Audit berfungsi membantu manajemen dalam pencegahan, pendeteksian dan penginvestigasian fraud yang terjadi di suatu organisasi. Albergh (2010: 86) menyatakan bahwa “Not Everyone Is Honest”, seandainya semua orang jujur maka Perusahaan tidak perlu waspada dengan tindakan fraud. Akan tetapi banyak orang mengaku telah melakukan tindakan fraud ketika lingkungan tempat mereka bekerja memiliki integritas yang rendah, kontrol yang rendah dan tekanan yang tinggi. Ketiga hal ini akan memicu orang berprilaku tidak jujur. Tindakan fraud dapat dicegah dengan cara menciptakan budaya kejujuran, sikap keterbukaan dan meminimalisasi kesempatan untuk melakukan tindakan fraud. Oleh karena itu dalam lingkungan Perguruan Tinggi hendaknya perlu diidentifikasi symptom dari tindakan fraud, penilaian secara berkala atas symptom tersebut serta upaya untuk mengeliminasi tindakan fraud. Penelitian terkait dengan auditor internal telah banyak dilakukan pada Perusahaan Publik atau Sektor Pemerintahan akan tetapi penelitian yang dilakukan di Perguruan Tinggi masih relatif jarang, dimana karakter yang berbeda dari organisasi tersebut memungkinkan adanya symptom yang khas yang harus dikenali oleh auditor. Berdasarkan uraian diatas maka penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan symptom fraud yang berpotensi terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi serta peran auditor internal dalam mendeteksi terjadinya fraud.
Variabel Penelitian :
Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Gejala Fraud (X1), Peran auditor internal (X2) dan Fraud di lingkungan perguruan tinggi (y).
Metode Penelitian :
Pada penelitian ini yang menjadi objek penelitian adalah Symptom of Fraud dan Peran Auditor Internal dalam mendeteksi fraud. Penelitian ini dilaksanakan dengan pendekatan kualitatif. Sumber data yang digunakan untuk penelitian ini adalah data primer. Penentuan sumber data dalam penelitian kualitatif menggunakan nonprobability sampling. Teknik sampling yang digunakan adalah purposive sampling. Setelah sumber data ditentukan, selanjutnya diperlukan teknik pengumpulan data agar mendapatkan data sesuai dengan tujuan dari penelitian dan memenuhi standar data yang diharapkan. Individu-individu yang akan menjadi informan dalam penelitian ini terdiri atas auditor internal pada lingkungan Perguruan Tinggi, dosen dilingkungan perguruan tinggi yang pernah menjabat sebagai pengelola keuangan dan ahli internal audit.
Tabel 1. Responden Penelitian
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara,observasi dan dokumentasi. Dalam penelitian ini, analisis data yang digunakan adalah Analisis Data Lapangan Model Miles and Huberman. Miles dan Huberman (dalam Sugiyono, 2010:246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus-menerus sampai tuntas, sehingga datanya sudah jenuh. Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data displays, dan conclusion drawing/ verification. Dalam teknik pemeriksaan keabsahan data, peneliti menggunakan teknik triangulasi dengan teori. Dimana dalam pengertiannya triangulasi adalah teknik pemeriksaan 9 keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian (Moleong, 2004:330)
Hasil Penelitian :
Symptom of Fraud
Jenis fraud yang telah dikelompokan oleh para ahli menjadi tiga macam yaitu fraudulent financial statement, misappropriation asset dan korupsi, ketiganya memiliki karakteristik berbeda mengenai motif dan pelaku fraud tersebut atau yang dikenal dengan istilah Fraudster. Bagi organisasi yang tidak berorientasi pada laba maka misappropriation asset berpotensi lebih sering terjadi dibandingkan dengan jenis fraud lainnya. Hal ini sejalan dengan yang diungkapkan Informan1 dalam wawancara :
“Jenis fraud yang berpotensi mungkin terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi adalah terkait dengan pengelolaan asset karena jumlah asset yang ada dilingkungan universitas itu cukup banyak sedangkan pengendalian internal atas asset tersebut relative masih rendah sehingga hal ini menjadi peluang bagi pihak yang ada dalam lingkungan organisasi maupun yang ada diluar organisasi untuk memanfaatkan kelemahan tersebut. Terutama dalam pengadaan barang dan jasa atau proses markup barang dan jasa. Untuk creative accounting jarang terjadi”.
Hal senada seperti yang diungkapkan oleh Informan 2 bahwa missaprropriation asset berpotensi terjadi lebih sering dibandingkan dengan fraudulent financial report pada Institusi Perguruan Tinggi, seperti
yang dikutip dalam wawancara berikut ini :
“Pada umumnya pemisahan fungsi dan bagian yang khusus menangani asset dilingkungan Perguruan Tinggi telah dimiliki akan tetapi bahaya penyalahgunaan asset masih mengancam institusi – institusi Perguruan Tinggi. Seperti masalah inventarisasi asset yang dimiliki Perguruan Tinggi masih terdapat perbedaan antara pencatatan dengan bukti fisik atas asset tersebut, hal ini terjadi karena sistem akuntansi yang ada pada tahun – tahun sebelumnya belum mampu menghasilkan informasi yang berkualitas, akhirnya berpengaruh pada penyajian neraca pada tahun-tahun berikutnya. Akan tetapi saya melihat kecenderungan upaya akuntabilitas dan transparansi publik mendorong pencatatan asset serta pengendalian intern atas asset di lingkungan perguruan tinggi menjadi lebih baik”.
Potensi terjadinya penyalagunaan asset juga sangat mungkin terjadi pada kas. Jumlah dana yang dikelola Institusi Perguruan tinggi sangat besar. Dimana unit satuan terkecil dalam entitas pengguna dana adalah fakultas/jurusan/program studi. Kelemahan pengendalian intern atas kas juga menyebabkan peluang bagi fraudster untuk melakukan tindakan fraud. Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh 10 Informan 2, 3 dan 4, dimana mereka juga beberapa kali pernah mendapatkan penugasan audit investigasi atas kasus pengelapan kas. Skema larceny atau pencurian uang yang paling berpotensi terjadi apabila pengendalian internal kas sangat rendah. Selain itu, skema fraudulent disbursment juga dapat berpotensi terjadi dengan sistem perencanaan anggaran yang tidak matang. Berdasarkan uraian diatas bahwa potensi fraud yang paling mungkin terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi terkait penyalahgunaan asset, walaupun tidak menutup kemungkinan kedua jenis fraud lainnya terjadi dilingkungan Perguruan Tinggi. Apalagi ditambah dengan pandangan sebagian masyarakat yang meragukan bersihnya institusi pemerintah dari tindakan korupsi .Hal ini sejalan dengan pendapat Informan 4 :
“Potensi terbesar dalam tindakan korupsi adalah pada pengadaan barang dan jasa yang tidak transparan dan akuntabel. Apabila hal tersebut terjadi di lingkungan perguruan tinggi maka kekecewaan masyarakat akan semakin meningkat karena institusi pendidikan yang diharapkan mampu menanamkan nilai-nilai moral pada mahasiswa ternyata dapat menjadi pelaku tindakan yang tidak sesuai nilai moral tersebut”.
Hasil penelitian ini mengenai potensi penyalahgunaan asset sejalan dengan penelitian yang dilakukan The Association Certified Fraud Examiners (ACFE ) 2010 berdasarkan data dari 1843 kasus fraud yang terjadi di seluruh dunia antara Januari 2008 sampai dengan Desember 2009. Semua informasi didapat dari para Certified Fraud Examiners (CFEs) yang menginvestigasi kasus-kasus ini di 106 negara. Estimasi dari para CFEs, organisasi kehilangan 5% kekayaan pada laporan keuangan akhir tahun disebabkan karena fraud. Asset misappropriation merupakan bentuk kasus fraud terbanyak yaitu 90% kasus meskipun akibat kerugian adalah yang paling sedikit yaitu sebesar $135.000. Setelah diuraikan mengenai skema fraud yang berpotensi terjadi di lingkungan Perguruan Tinggi maka perlu diketahui secara dini gejala-gejala yang terjadi atas tindakan fraud tersebut. Berikut ini adalah tabel perbandingan hasil wawancara dengan teori mengenai gejala fraud.
Analisi Jurnal :
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa :
1.  Gejala fraud yang berpotensi timbul di lingkungan perguruan tinggi adalah lack of internal control yang disebabkan oleh belum adanya pemisahan fungsi pada level terkecil pengguna anggaran, kurangnya pengendalian internal yang dilakukan oleh pimpinan unit terkecil dekan terhadap pelaporan pertanggungjawaban dana. Keterlibatan dosen sebagai auditor internal dapat berpotensi menurunkan independensi.Gejala lainnya adalah accounting anomaly yang ditandai dengan 16 perencanaan anggaran yang tidak matang, pencairan dana yang terlambat dapat berpotensi terjadinya transaksi fiktif. Dosen yang dijadikan pemegang kas menghadapi konflik peran serta pemegang kas yang tidak memiliki latarbelakang keuangan menyebabkan keterlambatan dalam pencatatan pelaporan keuangan.

2. Auditor internal berperan dalam mendeteksi tindakan fraud akan tetapi peran manajemen puncak dalam melakukan review atas pengendalian internal memberikan peran yang lebih penting dalam upaya pendeteksian tindakan fraud sesuai dengan konsep ―tone at the top‖. Tugas Auditor internal untuk melakukan penilaian resiko tindakan fraud belum sepenuhnya dilakukan oleh auditor dilingkungan Perguruan Tinggi

Opini tentang etika profesi akuntansi

ETIKA PROFESI AKUNTANSI
1.      ETIKA
Etika (Yunani Kuno: "ethikos", berarti "timbul dari kebiasaan") adalah sebuah sesuatu di mana dan bagaimana cabang utama filsafat yang mempelajari nilai atau kualitas yang menjadi studi mengenai standar dan penilaian moral. Etika mencakup analisis dan penerapan konsep seperti benarsalahbaikburuk, dan tanggung jawab. St. John of Damascus (abad ke-7 Masehi) menempatkan etika di dalam kajian filsafat praktis (practical philosophy).
Etika dimulai bila manusia merefleksikan unsur-unsur etis dalam pendapat-pendapat spontan kita. Kebutuhan akan refleksi itu akan kita rasakan, antara lain karena pendapat etis kita tidak jarang berbeda dengan pendapat orang lain.Untuk itulah diperlukan etika, yaitu untuk mencari tahu apa yang seharusnya dilakukan oleh manusia.
Secara metodologis, tidak setiap hal menilai perbuatan dapat dikatakan sebagai etika. Etika memerlukan sikap kritis, metodis, dan sistematis dalam melakukan refleksi. Karena itulah etika merupakan suatu ilmu. Sebagai suatu ilmu, objek dari etika adalah tingkah laku manusia. Akan tetapi berbeda dengan ilmu-ilmu lain yang meneliti juga tingkah laku manusia, etika memiliki sudut pandang normatif. Maksudnya etika melihat dari sudut baik dan buruk terhadap perbuatan manusia.
Etika terbagi menjadi tiga bagian utama: meta-etika (studi konsep etika), etika normatif (studi penentuan nilai etika), dan etika terapan (studi penggunaan nilai-nilai etika).

Jenis etika

Etika Filosofis

Etika filosofis secara harfiah dapat dikatakan sebagai etika yang berasal dari kegiatan berfilsafat atau berpikir, yang dilakukan oleh manusia. Karena itu, etika sebenarnya adalah bagian dari filsafat; etika lahir dari filsafat.
Etika termasuk dalam filsafat, karena itu berbicara etika tidak dapat dilepaskan dari filsafat. Karena itu, bila ingin mengetahui unsur-unsur etika maka kita harus bertanya juga mengenai unsur-unsur filsafat. Berikut akan dijelaskan dua sifat etika:
1. Non-empiris Filsafat digolongkan sebagai ilmu non-empiris. Ilmu empiris adalah ilmu yang didasarkan pada fakta atau yang konkret. Namun filsafat tidaklah demikian, filsafat berusaha melampaui yang konkret dengan seolah-olah menanyakan apa di balik gejala-gejala konkret. Demikian pula dengan etika. Etika tidak hanya berhenti pada apa yang konkret yang secara faktual dilakukan, tetapi bertanya tentang apa yang seharusnya dilakukan atau tidak boleh dilakukan.
2. Praktis Cabang-cabang filsafat berbicara mengenai sesuatu “yang ada”. Misalnya filsafat hukum mempelajari apa itu hukum. Akan tetapi etika tidak terbatas pada itu, melainkan bertanya tentang “apa yang harus dilakukan

Etika Teologis

Ada dua hal yang perlu diingat berkaitan dengan etika teologis. Pertama, etika teologis bukan hanya milik agama tertentu, melainkan setiap agama dapat memiliki etika teologisnya masing-masing. Kedua, etika teologis merupakan bagian dari etika secara umum, karena itu banyak unsur-unsur di dalamnya yang terdapat dalam etika secara umum, dan dapat dimengerti setelah memahami etika secara umum.
Secara umum, etika teologis dapat didefinisikan sebagai etika yang bertitik tolak dari presuposisi-presuposisi teologis. Definisi tersebut menjadi kriteria pembeda antara etika filosofis dan etika teologis

Relasi Etika Filosofis dan Etika Teologis

Terdapat perdebatan mengenai posisi etika filosofis dan etika teologis di dalam ranah etika. Sepanjang sejarah pertemuan antara kedua etika ini, ada tiga jawaban menonjol yang dikemukakan mengenai pertanyaan di atas, yaitu:
·         Revisionisme
Tanggapan ini berasal dari Augustinus (354-430) yang menyatakan bahwa etika teologis bertugas untuk merevisi, yaitu mengoreksi dan memperbaiki etika filosofis.


·         Sintesis
Jawaban ini dikemukakan oleh Thomas Aquinas (1225-1274) yang menyintesiskan etika filosofis dan etika teologis sedemikian rupa, hingga kedua jenis etika ini, dengan mempertahankan identitas masing-masing, menjadi suatu entitas baru. Hasilnya adalah etika filosofis menjadi lapisan bawah yang bersifat umum, sedangkan etika teologis menjadi lapisan atas yang bersifat khusus.
·         Diaparalelisme
Jawaban ini diberikan oleh F.E.D. Schleiermacher (1768-1834) yang menganggap etika teologis dan etika filosofis sebagai gejala-gejala yang sejajar. Hal tersebut dapat diumpamakan seperti sepasang rel kereta api yang sejajar.
2.      PROFESI
Profesi adalah kata serapan dari sebuah kata dalam bahasa Inggris "Profess", yang dalam bahasa Yunani adalah "Επαγγελια", yang bermakna: "Janji untuk memenuhi kewajiban melakukan suatu tugas khusus secara tetap/permanen".
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Contoh profesi adalah pada bidang hukum, kedokteran, keuangan, militer,[[teknik desainer, tenaga pendidik.
Seseorang yang memiliki suatu profesi tertentu, disebut profesional. Walaupun begitu, istilah profesional juga digunakan untuk suatu aktivitas yang menerima bayaran, sebagai lawan kata dari amatir. Contohnya adalah petinju profesional menerima bayaran untuk pertandingan tinju yang dilakukannya, sementara olahraga tinju sendiri umumnya tidak dianggap sebagai suatu profesi.
2.2  KARAKTERISTIK PROFESI
1.      Profesi adalah pekerjaan, namun tidak semua pekerjaan adalah profesi. Profesi mempunyai karakteristik sendiri yang membedakannya dari pekerjaan lainnya. Daftar karakterstik ini tidak memuat semua karakteristik yang pernah diterapkan pada profesi, juga tidak semua ciri ini berlaku dalam setiap profesi:
2.      Keterampilan yang berdasar pada pengetahuan teoretis: Profesional diasumsikan mempunyai pengetahuan teoretis yang ekstensif dan memiliki keterampilan yang berdasar pada pengetahuan tersebut dan bisa diterapkan dalam praktik.
3.      Asosiasi profesional: Profesi biasanya memiliki badan yang diorganisasi oleh para anggotanya, yang dimaksudkan untuk meningkatkan status para anggotanya. Organisasi profesi tersebut biasanya memiliki persyaratan khusus untuk menjadi anggotanya.
4.      Pendidikan yang ekstensif: Profesi yang prestisius biasanya memerlukan pendidikan yang lama dalam jenjang pendidikan tinggi.
5.      Ujian kompetensi: Sebelum memasuki organisasi profesional, biasanya ada persyaratan untuk lulus dari suatu tes yang menguji terutama pengetahuan teoretis.
6.      Pelatihan institutional: Selain ujian, juga biasanya dipersyaratkan untuk mengikuti pelatihan istitusional dimana calon profesional mendapatkan pengalaman praktis sebelum menjadi anggota penuh organisasi. Peningkatan keterampilan melalui pengembangan profesional juga dipersyaratkan.
7.      Lisensi: Profesi menetapkan syarat pendaftaran dan proses sertifikasi sehingga hanya mereka yang memiliki lisensi bisa dianggap bisa dipercaya.
8.      Otonomi kerja: Profesional cenderung mengendalikan kerja dan pengetahuan teoretis mereka agar terhindar adanya intervensi dari luar.
9.      Kode etik: Organisasi profesi biasanya memiliki kode etik bagi para anggotanya dan prosedur pendisiplinan bagi mereka yang melanggar aturan.
10.  Mengatur diri: Organisasi profesi harus bisa mengatur organisasinya sendiri tanpa campur tangan pemerintah. Profesional diatur oleh mereka yang lebih senior, praktisi yang dihormati, atau mereka yang berkualifikasi paling tinggi.
11.  Layanan publik dan altruisme: Diperolehnya penghasilan dari kerja profesinya dapat dipertahankan selama berkaitan dengan kebutuhan publik, seperti layanan dokter berkontribusi terhadap kesehatan masyarakat.
12.  Status dan imbalan yang tinggi: Profesi yang paling sukses akan meraih status yang tinggi, prestise, dan imbalan yang layak bagi para anggotanya. Hal tersebut bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap layanan yang mereka berikan bagi masyarakat.




3.      AKUNTANSI
Akuntansi adalah pengukuran, penjabaran, atau pemberian kepastian mengenai informasi yang akan membantu manajer, investor, otoritas pajak dan pembuat keputusan lain untuk membuat alokasi sumber daya keputusan di dalam perusahaan, organisasi, dan lembaga pemerintah. Akuntansi adalah seni dalam mengukur, berkomunikasi dan menginterpretasikan aktivitas keuangan. Secara luas, akuntansi juga dikenal sebagai "bahasa bisnis". Akuntansi bertujuan untuk menyiapkan suatu laporan keuangan yang akurat agar dapat dimanfaatkan oleh para manajer, pengambil kebijakan, dan pihak berkepentingan lainnya, seperti pemegang saham, kreditur, atau pemilik. 
4.      ETIKA PROFESI AKUNTANSI
ETIKA PROFESI AKUNTANSI MENURUT IAI
Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia. Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik yang berpraktik sebagai akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, pada instansi pemerintah, maupun di lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya.
5.      KESIMPULAN
Dengan penjabaran pengertian etika, profesi, dan akuntansi secara terpisah dapat kita ambil sebuah kesimpulan dari etika profesi akuntansi yang menyeluruh yaitu suatu ilmu yang membahas perilaku perbuatan baik dan buruk manusia sejauh yang dapat dipahami oleh pikiran manusia terhadap pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus sebagai Akuntan.
Tujuan profesi akuntansi adalah memenuhi tanggung jawabnya dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi dengan orientasi kepada kepentingan publik. Untuk mencapai tujuan tersebut terdapat 4 kebutuhan dasar yang harus terpenuhi :
1.      Kredibilitas. Masyarakat membutuhkan kredibilitas informasi dan sistem informasi.
2.      Profesionalisme. Diperluikan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh       pemakai jasa  Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi
3.      Diperluikan individu yang dengan jelas dapat diidentifikasikan oleh     pemakai jasa  Akuntan sebagai profesional di bidang akuntansi
4.      Kualitas jasa. Terdapatnya keyakinan bahwa semua jasa yang diperoleh dari akuntan diberikan dengan standar kinerja tinggi.
Kepercayaan. Pemakai jasa akuntan harus dapat merasa yakin bahwa terdapat kerangka etika profesioanal yang melandasi pemberian jasa oleh akuntan